Welcome


Click here for Myspace Layouts

Selasa, 13 Januari 2009

Ijtihad

1. Pengertian Ijtihad
Berikut ulasan singkat tentang ijtihad yang dikutip dari Syarh Ushul Sittah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Ijtihad
Ijtihad secara bahasa berarti mengerahkan kesungguhan untuk memecahkan sesuatu perkara. Secara istilah artinya mengerahkan kesungguhan untuk menemukan hukum syar'i atau sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Syarat-syarat seseorang yang boleh melakukan ijtihad, di antaranya:
1. Mengetahui dalil-dalil syar'i yang dibutuhkan dalam berijtihad seperti ayat-ayat hukum dan hadits-haditsnya.
2. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan keshahihan hadits dan kedhaifannya, seperti mengetahui sanad dan para periwayat hadits dan lain-lain.
3. Mengetahui nasikh-mansukh dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma' (kesepakatan ulama), sehingga dia tidak berhukum dengan apa yang telah mansukh (dihapus nya) atau menyelisihi ijma'.
4. Mengetahui dalil-dalil yang sifatnya takhsis, taqyid atau yang semisalnya, lalu bisa menyelaraskannya dengan ketentuan asal yang menjadi pokok permasalahan.
5. Mengetahui ilmu bahasa, ushul fikih, dalil-dalil yang mempunyai hubungan umum-khusus, mutlak-muqayyad, mujmal-mubayyan, dan yang semisalnya sehingga akurat dalam menetapkan hukum.
6. Mempunyai kemampuan beristimbat (mengambil kesimpulan) hukum-hukum dari dalil-dalilnya.
Ijtihad terus berlaku sampai kapan pun dan keberadaannya termasuk dalam bagian ilmu atau pembahasan masalah ilmiah. Perlu dicatat bahwa seorang mujtahid harus berusaha mengerahkan kesungguhannya dalam mencari kebenaran untuk kemudian berhukum dengannya. Seseorang yang berijtihad kalau benar mendapatkan dua pahala; pahala karena dia telah berijtihad dan pahala atas kebenaran ijtihadnya, karena ketika dia benar ijtihadnya berarti telah memperlihatkan kebenaran itu dan memungkinkan orang mengamalkannya, dan kalau dia salah, maka dia mendapat satu pahala dan kesalahan ijtihadnya itu diampuni, karena sabda Nabi: Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan temyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan apabila dia ternyata salah, maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama islam.

2. Tujuan Ijtihad
Untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

3. Fungsi Ijtihad
Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Qur’an dengan kehidupan moderen. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, pada saat itulah maka umat islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al-Qur’an dan Al-Hadist.


4. Jenis-jenis Ijtihad

 Ijma’
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.


 Qiyas
Ada beberapa definisi tentang qiyas :
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-Qur’an atau Al-Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

 Istihsan
Ada beberapa definisi tentang istihsan :
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.





 Mushalat murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.


 Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.


 Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.



 Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Qur’an dan Hadis.












5. Kedudukan Ijtihad dalam ajaran islam
Dengan dilatarbelakangi pemahaman ayat Al-Qur’an pada QS 33:36 maka urusan manusia dalam menjalani hidupnya itu ada yang sudah ditentukan dan ada yang belum ditentukan (oleh Allah [Qur’an] dan Rasulullah Muhammad [Al-Hadist]).
Untuk itu uruan-urusan yang sudah ada dan jelas ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist oleh ulama disebut sebagai Asas Syara’ atau pokok ajaran islam. Sedangkan urusan-urusan yang tidak jelas atau tidak ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist disebut sebagai Furu’ Syara’ atau cabang ajaran islam.
Ijtihad inilah yang tiada lain merupakan cabang ajaran islam itu. Dan hal-hal yang bersifat ijtihadi ini, dalam Al-Qur’an apapun keputusannya sudah dimaafkan oleh Allah SWT.
Sifat ketetapan yang termasuk dalam Asas Syara’ ini pada dasarnya mengikat seluruh umat islam, kecuali dalam keadaan darurat. Sedangkan untuk urusan ijtihadi, pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat islam (karena pada dasarnya sudah dimaafkan oleh Allah SWT), kecuali ditetapkan oleh penguasa (ulil amri) untuk diberlakukan dibawah kekuasaannya. Itulah mengapa ketetapan ijtihad bisa berbeda karena beda ruang maupun waktu. Tergantung penguasaan argumentasi masing-masing. Disinilah letak dinamika ajaran islam dalam menghadapi tantangan zaman.
Hanya saja untuk mengetahui apakah suatu urusan itu sudah ada atau sudah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Tentunya orang yang mengetahuinya adalah orang yang paham betul isi Al-Qur’an dan Al-Hadist dan orang itu tunduk patuh mentaatinya. Orang semacam itulah yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ulama (QS. 35:28).
Jadi, ijtihad berdasarkan pelakunya bisa perorangan dan bisa pula bersama-sama. Yang bersama-sama inilah sekarang ini dikenal sebagai ijma’.
Lantas, berdasarkan tujuannya ijtihad itu adayang dimaksudkan untuk membangun kemashlahatan umat (selanjutnya dikenal sebagai mashlahatul murshalah) dan adayang dimaksudkan untuk mencegah atau menolak kerusakan (yang selanjutnya dikenal sebagai saddudz-dzaari’ah).
Adapun Qiyas adalah salah satu metode dalam memutuskan perkara ijtihad.
• QS 33:36
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah SWT memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
• QS. 5:101
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah SWT memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

Tidak ada komentar:

Template Design n Modified by f4123n™